Praktisi seni, penulis.
Aku Bukan Topi
Kamis, 22 Mei 2025 17:54 WIB
Panorama cerpen, imaji mengurai sel-sel otak agar tetap sehat walafiat. Tak ada pembaca tak ada seni susastra. Jelajah imajinasi.
Stasiun kereta dalam kota, jam sibuk. Banyak orang menungu kereta ke tujuan masing-masing. Berdiri di antaranya. Selalu tak berapa lama semilir bau parfum sama persis melintas di depan hidung.
Awal mulanya tak ada apapun hal teraneh. Situasinya selalu sama persis acap kali menunggu kereta ke tujuan berikut. Di sini di tempat sama persis di stasiun ini. Entah siapa disekitarku tak penting benar. Ini metropolis. Hidupmu pilihanmu. Siapa peduli.
"Laiknya topi terbang." Suara itu nyelonong begitu saja.
"Kau bilang hal itu di punggungku." Tanpa merubah arah pandang
"Tak selalu harus di depankan." Percakapan terjadi begitu saja. Molos dari mulut masing-masing.
Bodohnya aku, mengapa ada percakapan lain di hati. Siapa dia, manusia manapun tak tahulah aku. Sekalipun selalu berdiri bersisian di jam sama persis begini. Ngapain pula menjawab ocehan itu. Kenalpun tidak. Kau, ya lumayanlah. Tapi aku merasa dari tampilanmu mungkin kau agak berbeda dengan manusia pada umumnya meski yah. Oke lah.
"Maksudmu."
"Aku tak berbicara pada siapapun."
"Ini, sekarang. Sedang apa dong."
"Aku tak merasa."
"Menyapaku. Begitukan maksudmu."
"Salah. Samasekali tidak." Percakapan siang bolong di stasiun kereta situasinya berulang persis begini. Berulang kali dalam situasi dua sisi. Selalu berdiri bersisian menunggu kereta pulang atau kereta berangkat.
"Kenapa ya. Siapa sesungguhnya kita ini."
"Mungkin makhluk berbeda dari lainnya."
"Tak mungkin bertemu manusia belalang macam kau. Tak jelas modelnya. Lantas mengapa rupanya selalu melihatmu di stasiun pada jam kereta sama persis dengan aku ya."
"Akupun heran kawan. Ranah tugas kita padahal berbeda."
"Tapi Selalu bertemu di Stasiun ini pula. Di tempat kini aku berdiri di sini."
"Tanpa atribut apapun."
"Sekalipun di ranah formal."
"Sebab tugas adalah tugas."
"Tak berbeda dengan makhluk metropolis umumnya kan."
"Semoga benar begitu."
"Absurd."
"Siapa."
"Kita."
"Karena tugas adalah tugas."
"Dari ujung rambut sampai ujung kaki."
"Busanamu plus sepatu warna menyala aduhai."
"Sama persis setiap hari."
"Apa kau kawanan hantu tak punya jadwal. Gentayangan sesuka hati."
"Kalau aku hantu kenapa rupanya. Jangan ngoceh di hati." Tanpa menoleh.
"Hahaha kepakaanmu masih teruji mantap." Percakapan keduanya makin melebar ke berbagai hal. Tak jelas pula maksud dari percakapan keduanya. Bertujuan apa kepada siapa di ruang publik seluas stasiun kereta pula. Di antara silang sengkarut beragam suara-suara melengkapi deru mesin kereta lewat menuju stasiun lanjutan.
"Walah! Tak segawat dugaanmu kawan."
"Kau bicara padaku."
"Tidak. Maaf."
"Lantas barusan kau bicara apa pada siapa."
"Pada sesuka hatiku."
"Sinting."
"Perkenalkan namaku sinting."
"Tidak secara kebetulan kan."
"Tidak."
"Asli namamu begitu."
"Ya. Tanpa nama depan, belakang, atau samping kiri kanan. Laiknya menulis daftar isian pelanggan internet versi cerewet."
"Wow! Lumayan tendensius."
"Tak bergantung pada musim."
"Apa sebabnya."
"Gunakan pengendali situasi."
"Uwow! Sakti kali nampaknya."
"Tak mengandung politik gelap."
"Wihh. Tegas membumi."
"Bukan pula provokasi pesanan pengembang."
"Kau paham rupanya."
Percakapan itu berkembang ke berbagai wawasan. Terjadi begitu saja. Tampaknya tak ada keheranan dari diri masing-masing. Sekalipun tanpa ujung pangkal awal mula saling bertegur sapa. Ditengah publik sibuk dengan tujuan pikiran masing-masing di arena kultur adab kontemporer serentak pula beragam bebunyian kendaraan capur aduk. Beriringan kebisingan telah menjadi lumrah di hari-hari berlari kesibukan kota.
"Dar! Der! Dor!." Tembak menembak, kejar mengejar, perilaku kejahatan versus kebaikan. "Maling! Maling!" Suara teriakan macam itu tak lagi asing di arena sibuk tak alang kepalang. "Tangkap! Tangkap!" Suara teriakan berselingan di antara suara-suara raungan mesin-mesin kemodernan. "Dia orang baik." Hikmah kultur kemodernan, di antara harmoni kesejukan dari rumah-rumah spiritualitas damai terasa di hati.
"Jangan ragu. Tembak saja."
"Pelanggaran HAM, akan menyapa kelak."
"Dia penjahatnya."
"Tapi dia makhluk juga berpayung hukum kan."
"Semoga."
"Sebagaimana tampaknya."
"Tugas adalah tugas."
"Tetap dilarang gegabah."
"Dia kejahatan itu."
"Belum terbukti."
"Belum terungkap."
"Belum tertangkap."
"Itu sebabnya tembak saja."
"Tugas adalah tugas."
"Tak boleh gegabah."
"Kalau kau, mati tertembak."
"Nasib kawan."
"Keadilan tak bisa dibeli dengan nasib."
"Tugas kita menjalankan."
"Plus memadamkan gejolak."
"Misteri."
"Penegakan hukum." Serentak, lantas membisu.
Takdir waktu nampaknya selalu berada di antara persimpangan pilihan keputusan. Ya atau tidak. Sesederhana penampakannya. Namun ketika fatal memilih tindakan keputusan, salah atau benar, mampu berakibat tak terduga. Perubahan terjadi begitu saja tanpa terasa. Awan-awan berubah-ubah sebagaimana kehendak iklim perubahan. Waktu kolaborasi cuaca sebagaimana berkehendak.
"Kemana mengejarnya."
"Itu sebabnya tadi aku bilang. Tembak!"
"Belum tentu dia pelakunya."
"Tembak saja dulu!"
"Kalau mati."
"Hotel prodeo kita."
"Hahaha." Ngakak serentak.
"Lantas. Kemana lari tikus itu."
"Pengejaran."
"Buang waktu lagi."
"Risiko profesi."
"Alahmak."
***
Jakarta Indonesia, Indonesiana Mei 22, 2025.

Penulis Indonesiana
1 Pengikut

Jreng! Dar Der Dor
Senin, 9 Juni 2025 08:28 WIB
Fragmen
Sabtu, 7 Juni 2025 15:29 WIBArtikel Terpopuler